LOFY – Chapter 29 – Eve of Change II

Bab 29: Malam Perubahan II

Penerjemah: Editor AtlasStudios: AtlasStudios

Yun Hen menoleh dan menatap Meng Fuyao, dengan kasar menampar tangannya. Api menyala di matanya, seolah-olah dia bisa meledak kapan saja.

Meng Fuyao terkejut dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Ketika dia melihat bahwa dia akan melompat maju dan mengambilnya sendiri, dia hanya ingin menghentikannya melakukan bunuh diri. "Kenapa dia begitu marah?"

Meng Fuyao menggigit bibirnya, tidak ingin bertengkar dengannya pada saat ini. Dia membuat gerakan tangan yang cepat, memintanya untuk berbalik.

Keraguan melintas di wajahnya tetapi karena Meng Fuyao tampak yakin Yun Hen menyerah.

Setelah mengambil langkah mundur, Meng Fuyao memutuskan cabang dari pohon terdekat. Dia memegangnya di tangannya dan mengupasnya dengan cermat, mengubahnya menjadi objek yang panjang dan silindris. Dia mengukurnya dengan tangannya sebelum memasukkannya ke lengan bajunya.

Langit sudah gelap, tetapi itu tidak cukup untuk menutupi kilatan kemerahan yang tiba-tiba dan mencurigakan di wajahnya.

Benda itu mencuat dari lengan bajunya, sebagian pas ke lekuk telapak tangannya. Itu bundar, tebal dan panjang, dan bergesekan dengan jarinya. Wajah Meng Fuyao mulai memanas saat dia melengkungkan bibirnya dan tersenyum tak berdaya.

I Ke air yang berlumpur aku pergi … sial, reputasiku telah kotor dan selamanya akan dimakamkan di istana terkutuk ini. ’

…

Saat itu hampir malam, dan cahaya lilin memenuhi interior Aula Istana Qianan.

Qi Xunyi mengoceh tentang keterampilan luar biasa yang ada dalam tontonan pertama Huai Zuo, Martial Family, dengan murah hati menumpahkan air liurnya ke mana-mana.

Dia mengulurkan tangan ke arah putra mahkota untuk mendapatkan perhatiannya, yang kemudian membalas dengan berjalan. Qi Xunyi dimulai, dengan suara rendah. "Ada perawan yang cantik dalam kelompok itu, dengan pinggang yang ramping tidak seperti yang lain … tidak ada kata-kata untuk menggambarkan pesonanya …"

"Oh?" Seru putra mahkota, sebelum berkomentar dengan nada yang sama, "Bagaimana adik laki-laki ketiga tahu betapa ramping pinggangnya jika dia masih perawan? Atau…"

Mereka bertukar pandang sebelum tertawa terbahak-bahak.

…

Pukul empat sore di rumah garnisun Aula Istana Qianan …

Asisten Komandan Tie sedang bersiap-siap untuk patroli ketika seseorang menyingkirkan tirai pintu dan masuk. Itu atasannya, Yan Lie.

"Aku akan bergabung denganmu."

Mereka berjalan bersama, dan Tie Cangmo menangkap bayangan ramping di tanah di depan mereka. Dia mendongak untuk melihat Putri Pei maju dengan senyum yang menawan.

Pada "pertemuan kebetulan" ini, ia dengan cepat memberi hormat, dan sang putri mendukungnya.

Sebuah pedang muncul di tangannya saat dia membantunya berdiri. Detik berikutnya, dia memasukkannya ke dada asisten komandan.

Tentu saja, ia mencoba membalas, dan Yan Lie hanya tersenyum, menyapu lengan bajunya ke depan saat berikutnya dan menjebak tubuh miring asisten komandan di bawah ketiaknya. Korban berjuang keras, memperparah lukanya dan kehilangan banyak darah dalam prosesnya.

Yan Lie tersenyum dan memutar lengannya.

Kepala Tie Cangmo langsung berubah bengkok, tulangnya berderit dan pecah di tengah keheningan yang menakutkan.

Setelah melemparkan mayat ke tanah, Pei Yuan dan Yan Lie bertukar nyengir.

…

Pada pukul empat sore, di tiga gerbang Kota Kekaisaran …

Angin sedingin baja dan bulan, berbeda dengan hiasan merah, pucat pasi. Di depan gerbang berdiri penjaga, dipersenjatai dengan lembing. Mereka berdiri diam dengan bayangan hitam mereka menutupi tanah.

Kesunyian itu dipecahkan oleh gelombang cepat, derap kuku. Para penunggang kuda mengenakan gaun bersulam dan dengan cepat terungkap sebagai Yan Lie dan Yan Jingchen.

"Yang Mulia telah memerintahkan untuk mengganti penjaga yang ditempatkan di gerbang Changning, Guangan, dan Changxin!"

Sinar cahaya dingin memantulkan senjata saat dentang logam melampaui keheningan. Awan bergeser ke atas, menumpuk seperti lapisan sisik ikan dan berkerumun di atas Imperial City.

Yan Lie tetap di atas kudanya, dengan acuh tak acuh menunggu pasukan garuda dibebaskan. Pemimpin garnisun gerbang Changxin, ajudan terpercaya Tie Cangmo, dengan ragu-ragu mengulurkan tangannya untuk meminta dekrit.

Yan Lie tersenyum. "Yakin!"

Pada saat itu, dia mencambuk kepala yang terpenggal dari punggungnya dan membantingnya ke kepala pemimpin pasukan itu. Darah segar, dicampur dengan jus otak, mengalir ke bawah dan di sepanjang jalan berurat, menciptakan garis besar peta pembantaian yang menakutkan.

Kepala yang berjatuhan menodai jalanan, tetapi seorang prajurit yang terlatih dengan cepat menghapus jejak itu.

…

Pukul empat sore, di kamp utama yang terletak di pinggiran kota Yanjing …

Komandan Fang Minghe mengumpulkan anak buahnya dan membaca perintah pangeran dengan keras. Putra mahkota Taiyuan telah merencanakan pemberontakan, dan tentara akan memasuki istana untuk melindunginya. Fang Minghe memiliki lima orang pria bersamanya, dan tiga orang langsung berangkat untuk memberi tahu pasukan mereka sementara dua lainnya tetap menawarkan saran.

Mereka menyarankan agar tidak gegabah bergerak tanpa dekrit kekaisaran, yang olehnya Fang Minghe mengangguk kecil dan melambai.

Lebih dari 10 tombak menebas tenda kulit, dan pada saat berikutnya, lubang bisa dilihat melalui tubuh dua perwira militer.

Darah keluar dari lubang-lubang, berceceran di seluruh bagian dalam tenda dan ke tempat yang ditandai sebagai Kota Kekaisaran di peta di belakang tempat Fang Minghe berdiri.

Pada jam yang sama, misi rahasia lain sedang dilaksanakan di sudut tertentu Yanjing.

Tirai manik-manik bergoyang dan bersinar ketika siluet ramping pria anggun tercetak di jendela layar di belakangnya.

"Bunuh 31 orang ini." Dia mengangkat jari dan tersenyum dengan tenang. “Presisi, dan bukan kuantitas, adalah kunci untuk membunuh secara efektif. Hanya bunuh apa yang perlu. "

"Pergi," tambahnya, mengangkat telapak tangannya. Ketika dia melakukan itu, tanda putih terungkap sesaat sebelum lengan bajunya menutupi sekali lagi. "Hadiah pertamaku untuk Qi Xunyi."

Ketika suaranya jatuh, sosok-sosok hitam keluar seperti kepulan asap ke setiap sudut Yanjing. Sementara nama-nama yang mereka cari kelihatannya tidak mencolok dan tidak relevan, kota itu akan dilumpuhkan ke dalam kelumpuhan pada pemberontakan karena komunikasi akan terganggu tanpa angka-angka itu.

Ke-31 nama itu telah ditulis di selembar perkamen dengan sapuan hitam yang lembut.

Hakim Yanjing, beberapa aristokrat yang memiliki investasi swasta dalam persenjataan, deputi depot militer dan stasiun relay, prajurit yang menjaga menara suar, pejabat kecil yang bertugas menyampaikan berita, pesanan, dan dokumen dari kota kekaisaran …

Kematian mereka berarti bahwa tidak ada berita yang akan menyebar bahkan jika sesuatu yang besar terjadi dalam Yanjing.

Kekaguman melintas di mata lelaki yang membaca nama-nama itu, tetapi dia tampak agak ragu-ragu. "Para penjaga kekaisaran masih di bawah kendali putra mahkota. Dia telah berkembang secara pribadi selama beberapa tahun terakhir dan telah mengumpulkan kekuatan yang cukup, sekitar 80.000 kepala. Lihatlah…"

"Dia tidak akan berhasil tepat waktu." Pria itu tersenyum sedikit. "Kecuali dia bisa melarikan diri dari pembunuh Qi Xunyi dan bergegas kembali ke kemah sebelum malam tiba."

Keheningan turun karena semua tahu bahwa itu tidak mungkin.

"Aku sebenarnya tidak keberatan mereka memulai pertengkaran. Taiyuan belum terlalu jujur ​​dalam beberapa tahun terakhir, jadi mungkin darah segar akan membersihkan pikiran mereka, "tambah pria itu, berdiri di depan layar yang meredupkan cahaya bulan dan tersenyum tulus. Sebaliknya, nadanya terdengar agak sepi seolah-olah dia menghadap segala sesuatu dari puncak tertinggi di dunia dan tidak dapat mencari lawan yang layak.

"Sangat disayangkan bahwa Qi Xunyi tidak akan meninggalkan kesempatan untuk putra mahkota. Mungkin tidak ada seorang pun di Yanjing yang dapat membalikkan peluang melawan kekalahan yang terakhir. "

Dia mengangkat tangannya, tatapannya dalam dan jauh, seolah-olah semua yang dilihatnya melalui kegelapan adalah malapetaka terakhir.

Dia mengulangi sambil tersenyum, "Sayangnya."

Pada jam yang sama …

Kasim dan pelayan dari Istana Xuande berjalan keluar dari aula untuk melihat pemandangan yang cemerlang jauh di depan. Memegang pinggangnya dengan tinjunya, ia tertatih-tatih menuju kamarnya. Istana Timur Keenam terletak di sana, dekat dengan Istana Xin yang tidak sering dikunjungi, jadi agak terpencil dan sunyi. Dalam benak kasim berusia hampir 70 tahun, peristiwa besar itu bukan urusannya. Dia mengerutkan bibirnya yang keriput dan terhuyung-huyung ke belakang.

Tiba-tiba, kasim tua itu berhenti ketika melewati koridor yang terpencil. Di depan adalah seorang pria dan wanita mengenakan seragam kasim dan pelayan istana, menghindari melalui jalan berbatu.

"Siapa ini!?"

Seorang penjaga patroli berhenti di luar Aula Istana Xuande dan melihat ke atas.

Keduanya berbalik panik. Penjaga itu mendapati wajah mereka asing, dan dia melihat kemerahan bersinar melalui kulit kuning pelayan istana ketika dia dengan cemas menyembunyikan tangannya di belakang.

Terlepas dari usianya, kasim tua itu memiliki mata yang tajam dan pertama kali terkejut ketika melihat benda silindris di tangan pelayan itu. Tetapi dia dengan cepat mengerti bahwa itu hanyalah tindakan sengaja lainnya.

Sida-sida tua itu menampar bibirnya ketika dia memikirkan tentang gelang giok pasangan yang dia simpan di aula dan mengeluarkan tawa nakal. Dia memberi lambaian kecil, memberi isyarat agar pasangan itu berada di jalan mereka dan agar penjaga juga berada di tempatnya.

Sida-sida tua itu melanjutkan perjalanannya ketika dia merasa tidak ada gerakan yang datang dari keduanya. "Eh?" Dia mengungkapkan sebelum berbalik.

"Tolong, selamatkan kami!" Pelayan istana itu bersuara serak sambil menerkam ke depan.

Kasim tua itu menatapnya dengan mata menyipit dan mengerutkan kening dalam kebingungan.

"Kami dari Istana Xin, tapi … kami tidak bisa kembali sekarang," pelayan istana itu mengangkat kepalanya, terisak. Sementara kulitnya agak kuning, dia memiliki sepasang mata yang indah dan alis yang terbalik. Ekspresi air mata, melankolis yang dibawanya di wajahnya juga mengandung sedikit kegelisahan.

Kasim tua itu menatapnya dengan menyesal. Kulitnya yang melakukan ketidakadilan padanya, dan dia bisa langsung mengatakan bahwa dia dilahirkan dalam keluarga miskin. Kenapa lagi dia berakhir di istana yang dingin dan menikahi seorang kasim padahal dia berpotensi menjadi selir? Pikiran itu membangkitkan simpati di dalam kasim tua ketika dia menatapnya dengan ragu-ragu.

Di Istana Xin, para prajurit berjalan mondar-mandir. Keamanan sangat ketat, jadi tidak heran pasangan ini tidak kembali. Sebagai asisten manajer, memang ada cara bagi kasim tua untuk melindungi mereka, tetapi mengapa ia harus mengambil risiko untuk orang asing?

Dia mengumpulkan lengan bajunya sambil menatap langit dengan linglung.

Yun Hen dan Meng Fuyao saling bertukar pandang, yang terakhir mengambil alisnya dan mengangguk halus dengan dagunya. Yun Hen mengerutkan kening dan mengeluarkan dengungan rendah dari bawah hidungnya. Meng Fuyao segera mengarahkan tangannya ke area pinggangnya. Tak berdaya, Yun Hen merogoh sakunya untuk mengambil karung dan menyerahkannya padanya.