TGS – Chapter 35 – The Woman and Her Guitar

Bab 35: Bab 35 – Wanita dan Gitarnya

Penerjemah: – – Editor: – –

***

Hai semuanya,

SootyOwl dan ShawnSuh di sini. Kami sangat menyukai respons kalian untuk novel ini dan untuk pekerjaan yang kami lakukan menerjemahkannya. Kami datang membawa beberapa berita yang beberapa dari Anda mungkin tidak suka. Seperti yang Anda ketahui, The Great Storyteller adalah novel Korea. Di bawah Webnovel dan kemitraan Munpia untuk membawa novel-novel Korea ke khalayak yang lebih besar, Munpia meminta agar novel-novel mereka menjadi premium setelah 40 bab untuk melindungi hak cipta mereka dan demi keuntungan penulisnya.

Kami harap kalian tetap bersama kami saat kami menyaksikan masa depan Juho berubah bersama, tapi kami mengerti jika Anda tidak bisa.

Terima kasih atas pengertian Anda.

***

Diterjemahkan oleh: ShawnSuh

Diedit oleh: SootyOwl

Juho menemani Pil Sung, yang sekarang disebutnya sebagai Sung Pil, ke kantor polisi. Para petugas menatap keduanya dengan pandangan tercengang, yang masuk akal mengingat remaja telah memasuki kantor polisi yang ingin mengembalikan tiga dolar yang ditemukan oleh salah satu dari mereka di jalan. Sebagai hadiah, keduanya telah menerima segenggam permen. Dengan ekspresi puas di wajahnya, Sung Pil memasukkan salah satu dari mereka ke mulutnya.

Pada akhirnya, tiga dolar yang dia coba kembalikan berakhir di tangannya. Keduanya menemukan bahwa ada hukum untuk barang yang hilang yang menyatakan bahwa ketika barang yang hilang tidak diklaim dalam periode waktu tertentu, pencari diberi hak hukum untuk menyimpan barang tersebut. Saat itu, Sung Pil meminta para petugas untuk memegang tiga dolar. Para petugas melambaikan tangan untuk menyampaikan bahwa itu tidak perlu. Setelah bolak-balik dengan petugas selama beberapa waktu, dia akhirnya memasukkan uang itu ke kotak sumbangan untuk memerangi kelaparan anak.

Setelah menonton adegan aneh itu selama beberapa waktu, Juho pulang dengan permen permen di mulutnya.

"Ha ha."

Selain dari kata 'lucu', tidak ada cara lain untuk menggambarkan apa yang terjadi sebelumnya. Dia telah membaca buku Sung Pil sebelumnya. Setiap karakter memiliki pesona yang manusiawi. Buku itu membuat para pembacanya mengasihani mereka, dan pada akhirnya, mencari mereka.

"Sekarang setelah kupikirkan lagi, buku itu seperti penulisnya," pikirnya.

Dia dalam bahaya, dan rasanya asing. Hampir terasa seperti dia akan ditelan gelombang besar jika dia tidak bertindak. Namun, dia tidak takut. Bahkan, dia menantikan masa depan baru ini. Penampilan Pil Sung belum menjadi bagian dari masa lalu Juho. Hidupnya benar-benar berubah, dan berkat Pil Sung, masa depan Juho yang tidak pasti menjadi lebih berwarna.

Dia berharap untuk masa depan di mana dia mendiskusikan karya-karya mereka dengan teman nekatnya.

Agar itu terjadi, ia harus bertahan hidup di dunia sastra. Jika dia didorong keluar seperti di masa lalu, masa depan itu tidak akan pernah datang.

Juho secara naluriah meraih pena.

‘Mengapa seseorang hidup?” Dia diam-diam bertanya pada dirinya sendiri. "Apa artinya menjalani hidup?"

Sebelum menggali lebih dalam, dia berpikir apakah dia benar-benar ada. Jika orang tidak bisa lagi melihat atau mendengar orang bernama Juho, dia mungkin tidak berbeda dari mati.

Ada suara yang datang dari ruang tamu. Itu berita. Rupanya, seseorang telah memenangkan lotre dengan sejumlah besar uang.

"Jika seseorang tidak dapat didengar, dilihat, atau meninggalkan jejak dirinya, apakah itu berarti dia masih ada?"

Tentu saja.

"Bahkan jika bukan aku, selalu ada seseorang yang memenangkan lotre di suatu tempat."

‘Dengan kata lain, bukankah itu berarti ada orang yang tinggal di tempat yang tak terlihat? Tidak perlu mempersulit ini. '

Dia menerima logika impulsif yang baru-baru ini dipikirkannya.

"Bagaimana rasanya memenangkan lotre?" Dia dengan tenang menempatkan dirinya pada posisi itu. Berbagai pemikiran mulai bermunculan. Kebahagiaan, ketakutan, kemarahan, keinginan untuk hidup … Namun tidak ada yang mencapai kedalaman hatinya.

"Aku tidak mendapat apa-apa."

Juho mencabuti rambutnya. Dia melihat daun-daun kertas yang tersebar di seberang ruangan. Mereka berantakan. Mereka adalah aliran kesadarannya. Ada sesuatu yang belum selesai, dan itu mengganggunya.

"Aku harus mencoba keluar."

Dia berubah dengan cepat dan kemudian meninggalkan rumah untuk perubahan pemandangan.

Dia berjalan tanpa tujuan melintasi bukit dan menyeberangi jembatan. Setelah menunggu cahaya, dia berjalan melewati sebuah bangunan untuk mencapai taman lingkungan.

Secara impulsif, dia masuk ke dalam. Ada anak-anak dan orang tua. Taman itu cukup besar untuk taman bermain dan panggung kecil, dan bahkan ada seekor gajah di kebun binatang.

"Sudah lama," katanya pada dirinya sendiri.

Gajah terus berusaha masuk ke dalam kandang, hanya menunjukkan bagian belakangnya kepada orang-orang yang menonton di depan kandang. Seorang anak berteriak, "Lihat ke sini!"

Seolah mengerti, itu menundukkan kepalanya.

Anak itu mulai mengamuk pada ibunya. Sang ibu secara pasif menghibur anak itu. Dia sibuk dengan anak yang bahkan lebih muda yang dia pegang.

Gajah itu tidak akan mengangkat kepalanya dalam waktu dekat, dan kemarahan anak itu pasti tidak akan mengubahnya.

Juho pergi lebih jauh ke taman. Berbeda dengan di dalam, di mana ia booming dengan anak-anak, bagian luarnya sunyi dan tenang. Ada beberapa orang tua di beberapa tempat. Udara anehnya juga terasa tenang, dan kecepatan Juho secara alami menjadi lebih lambat.

Ketika dia berjalan di sekitar pohon-pohon bertubuh lebih tipis, dia melihat halaman hijau.

"Mungkin aku harus nongkrong di sana," pikirnya ketika dia berjalan ke arah itu. Sayangnya, ada tali panjang yang menaikinya. 'Jangan menginjak rumput.'

'Saya pikir rumput tumbuh semakin diinjak,' dia berpikir sendiri karena kecewa.

Setelah berkeliaran di sekitar halaman untuk beberapa waktu, dia akhirnya berbalik. Tidak ada pilihan lain.

"Tidak ada inspirasi, dan sekarang aku bahkan tidak bisa pergi ke rumput. Ini bukan hariku, ”gerutunya.

Ketika dia hendak berbalik, dia mendengar suara.

"Apa itu tadi?"

Itu berasal dari antara orang tua dan batas rumput. Jalan setapak itu masih tertutup daun coklat. Itu mungkin adalah tempat pembersih jalan menyimpan daun setelah menyapu. Itu hampir tampak seperti waktu telah berhenti berdetak di area itu.

Suara itu berlanjut dengan suara tipis yang bisa hilang dalam bisikan.

Dia perlahan-lahan berjalan melalui daun coklat dan berjalan menuju suara.

"Ya ampun!"

Suara itu semakin keras saat dia semakin dekat. Dia mendengar irama enak di antara yang tidak sesuai dengan suara tipis, halus. Keingintahuan mempercepat dia untuk lebih dekat dengan suara.

"La, la, la," ada seorang wanita bernyanyi. "La, la, tra-lala."

Wanita itu memegang gitar. Dia bernyanyi di tengah-tengah orang tua. Bersamaan dengan suara gitar, Juho akhirnya bisa mendengar liriknya.

Liriknya tidak banyak. Dari awal hingga akhir, "la, la, la" adalah satu-satunya hal yang keluar dari suara gadis itu. Kedengarannya dia mengganti lirik dengan mereka.

Wanita itu tampaknya berusia tiga puluhan, dengan tampilan dan keterampilan rata-rata. Permainannya tidak kurang dari seorang amatir. Seseorang tidak akan bisa memujinya, bahkan karena kesopanan. Dengan kata lain, dia mengerikan. Meskipun demikian, para lansia bertepuk tangan untuk lagu-lagunya. Mereka menyukainya.

Setelah tampil selama beberapa waktu hanya dengan ‘La, la, la’ dan “Hm, mm, mm,” ia membungkuk kepada audiens untuk berterima kasih kepada mereka. Itu seorang profesional.

"Kurasa dia tidak berencana tampil sepanjang malam," pikir Juho.

Begitu wanita itu berhenti bernyanyi, taman menjadi sunyi lagi. Orang-orang tua pergi satu per satu, sampai hanya ada beberapa yang tersisa. Itu pemandangan yang aneh. Tidak ada angin. Daunnya tidak bertiup. Lansia juga tidak bergerak. Wanita yang berjalan di atas panggung adalah satu-satunya gerakan di sana.

Juho mendekati wanita itu ketika dia membuka kotak gitarnya untuk meletakkannya di dalam. Mendengar suara langkahnya, dia berbalik untuk menatapnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita itu mengenakan gitar di atas bahunya.

Bukan karena dia membutuhkan bantuan. Melihatnya ragu, wanita itu mulai memasukkan kembali gitarnya ke kotaknya.

Akhirnya, dia bertanya, "Apakah Anda seorang penyanyi?"

"Nggak."

"Bercita-cita?"

"Nggak."

"Hobi?"

"Bagaimana dengan ini?" Dia memiringkan kepalanya ketika dia ditanya pertanyaan aneh. Untungnya, dia sepertinya tidak terganggu dengan pertanyaan Juho. Jika sama sekali, dia tampak agak terhibur. “Saya sedang dalam proses mencari pekerjaan. Saya tidak dapat menemukan pekerjaan perusahaan, itulah sebabnya saya bernyanyi dan bermain gitar. "

"Jadi, Anda sedang beristirahat?"

"Sungguh melelahkan untuk bernyanyi dan bermain gitar."

Dia menekankan bahwa sesuatu yang melelahkan tidak bisa menjadi bentuk istirahat. Mungkin perbuatan melelahkan itu memiliki arti yang lebih dalam baginya.

'Pekerjaan.'

Juho memikirkan apa yang telah dilihatnya di TV baru-baru ini. Panel orang bertanya kepada CEO yang sukses, "Apa saja cara orang yang pergi ke sekolah tanpa nama dapat menemukan pekerjaan?"

Dia menjawab, "Adalah diskriminasi untuk diperlakukan sama seperti mereka yang pergi ke sekolah bergengsi. Orang-orang ini memperjuangkan nama sekolah mereka. ”

Kamera menunjukkan wajah mereka yang mencari pekerjaan setelah lulus dari sekolah tanpa nama. Mereka tampak terbakar. Mungkin, orang masih bisa terbakar meskipun mereka belum mencobanya. Mungkin mereka terbakar justru karena mereka belum mencoba. Itu adalah hukuman karena tidak berusaha lebih keras daripada yang lain.

Juho ingin mengajukan satu pertanyaan kepada CEO, "Bagaimana Anda menentukan jumlah usaha yang Anda lakukan?" Sayangnya, dia tidak bisa mendapatkan jawaban.

Setelah meletakkan gitarnya, wanita itu berdiri. Dia lebih pendek dari yang dipikirkan Juho. Dia terlihat cukup tinggi dari jauh, tapi itu mungkin panggung.

"Jadi, mengapa kamu bernyanyi?"

"Tidak ada yang benar-benar ingin saya lakukan, jadi ya …"

Dia tidak memiliki apa pun yang dia ingin lakukan walaupun dia sedang mencari pekerjaan. Setelah berpikir sejenak, dia melanjutkan, "Saya pikir ada pesan yang ingin saya sampaikan."

"Seperti apa?

Dia berpikir sejenak.

"Aku tidak terlalu yakin. Saya mungkin tidak ingin melakukan apa pun, tetapi saya masih ingin mengatakan sesuatu, ”kata wanita dengan gitar sambil tersenyum. "Saya yakin saya akan menemukannya suatu hari nanti, apa pun yang ingin saya katakan."

"Bagaimana dengan liriknya?"

"Aku agak malu di depan penonton."

‘Dia tampak baik-baik saja. Apa yang dia bicarakan? "Pikirnya.

"Kamu terlalu malu untuk menyanyikan lirikmu?"

"Ya. Saya merasa mereka akan tahu. ”

"Menurutmu apa yang akan mereka ketahui?" Juho harus menelan pertanyaan itu. Bagi seorang wanita yang bahkan tidak menyanyikan liriknya karena takut diketahui, akan kasar untuk bertanya lebih lanjut. Sebagai gantinya, ia memutuskan untuk mengubah kata-katanya, "Saya memiliki sesuatu yang saya tidak ingin orang tahu juga."

"Bukankah kita semua?"

"Saya rasa begitu."

Persis seperti itu, pembicaraan berakhir. Meskipun tidak ada yang tersisa untuk dikatakan, keduanya tidak meninggalkan tempat mereka. "Apa lagi yang ada di sana?"

Sebelum Juho punya kesempatan untuk bertanya apakah dia bernyanyi di taman setiap hari, wanita itu dengan cepat bertanya, "Bagaimana kabarnya?"

"Bagaimana apa?"

"Laguku."

"Apakah dia mencari pujian?" Pikirnya ketika dia memandangnya. Sama seperti ketika dia berada di atas panggung, tidak ada senyum atau kekesalan di wajahnya. Dia hambar. Itu membuat Juho sulit untuk membaca ekspresinya, jadi dia memutuskan untuk menjawab dengan jujur, "Itu sebagian besar 'lalalas,' jadi sulit untuk mengatakannya."

"Aku yakin begitu."

Dia tidak kecewa atau terganggu dan dia menjawab dengan tenang seolah-olah dia mengharapkannya. Melihat itu, dia tidak bisa membantu tetapi menanyakan pertanyaan yang dia sendiri tanyakan sebelumnya, “Kamu bilang kamu ingin mengirim pesan sebelumnya. Apakah Anda takut orang lain akan tahu apa yang Anda pikirkan? "

"Aku harus. Jantung adalah rasa sakit di pantat. ”

Juho tersenyum melihat dia menggunakan bahasa yang kuat.

"Menurutmu kapan mereka akhirnya akan keluar? Lirik Anda. "

"Mereka akan keluar suatu hari nanti. Ada sesuatu yang ingin saya katakan. "

‘Jika dia tahu apa yang ingin dia katakan dan menemukan keberanian untuk mengatakannya, apakah dia masih akan bernyanyi? 'Dia bertanya pada dirinya sendiri.

"Apakah kamu akan terus bernyanyi?"

"Tentu saja. Itu tidak seperti ada yang ingin saya lakukan, "jawabnya.

"Sampai kapan?"

"Mungkin sampai aku mati?"

Dia tersenyum ketika dia menjawab pertanyaannya. Itu adalah senyum biasa. Bahkan jika seseorang tidak memiliki apa pun yang ingin mereka lakukan atau berani untuk membicarakannya, mereka akan terus hidup. Mereka menjalani kehidupan biasa.

Dengan senyumnya yang biasa, wanita itu akhirnya pergi.

Di ruang di mana tidak ada yang bergerak, Juho terus berpikir sendiri.

‘Apa yang ingin dia katakan? Apa kata-kata dalam liriknya yang sangat ingin dia sembunyikan? Apa pun itu, mungkin akan menyerupai dia. Itu mungkin hanya lirik biasa. "

Babak 35 – Wanita dan Gitarnya; Tamat