TGS – Chapter 50 – The First Encounter

Babak 50: Pertemuan Pertama
Penerjemah: ShawnSuh | Editor: SootyOwl

Pada ambivalensi Juho, Seo Kwang bertanya seolah-olah dia tidak bisa percaya apa yang baru saja dia dengar, "Apa? Mengapa? Siapa hakimnya? Kompetisi mana yang Anda ikuti lagi? Anda semua orang? Kamu?"

"Hei bro. Tidak perlu begitu usil. "

"Yah, hanya saja … dari semua orang …"

Sun Hwa memelototinya, dan Juho menjelaskan sementara Seo Kwang masih memasang ekspresi bingung di wajahnya, "Aku hanya tidak punya cukup waktu."

Lalu, dia menaruh sesendok makanan di mulutnya. Untuk beberapa alasan, tidak ada yang berbicara. Dia mengambil sepotong kimchi dari nampan dan membawanya ke mulutnya. 'Kegentingan. Crunch. "Tidak ada apa-apa selain suara mengunyah untuk sementara waktu.

"Hah?"

Juho melihat sekeliling pada keheningan yang berkepanjangan. Sun Hwa ada di sana dengan tampilan yang sedikit canggung sementara Seo Kwang masih bergumam.

‘Aha!’

Kemudian, dia mengerti situasinya.

"Saya baik-baik saja. Sangat. Saya memang mendapatkan sesuatu yang baik dari itu. "

"BAIK…"

Untuk beberapa alasan, responsnya masih suam-suam kuku.

‘Saya tidak bisa memikirkan cara untuk menjelaskan hal ini. Aku akan membiarkan mereka untuk saat ini, "pikirnya sambil mengunyah makanannya.

–

Keesokan paginya, dia menemukan tas plastik hitam penuh makanan ringan di atas mejanya. Ketika dia mengambilnya, dia menemukan sebuah buku komik di bawahnya.

"Kisah heroik seorang protagonis yang mengatasi cobaan masa lalunya."

Itulah yang tertulis di belakang buku. Dia mulai membacanya, dan itu sebenarnya tidak buruk.

Segera, Seo Kwang tiba. Alih-alih tas yang penuh dengan sesuatu, ia membawa tas yang penuh pertanyaan, dan Juho menjawabnya dengan ringan, mengatakan, "Tidak apa-apa. Saya menulis sisanya di rumah. Saya bahkan tidak tertarik dengan penghargaan itu. "

Mendengar itu, mata Seo Kwang berbinar, "Biarkan aku membacanya!"

"Aku tidak tahu di mana aku meletakkannya."

"Aku akan menemukannya. Kapan kamu bebas hari ini? Bolehkah saya datang?"

"Eh, tidak. Tidak sebentar. ”

‘Saya punya ide untuk buku saya berikutnya di kamar saya. Jika dia melihatnya, dia mungkin tahu bahwa saya adalah Yun Woo. Orang ini cepat dalam hal membaca dan menulis. "

Dia menambahkan karena Seo Kwang masih shock, "Aku akan membawakannya nanti."

"Anda berjanji?"

"Ya."

Setelah menghibur Seo Kwang, dia tersenyum ketika dia melihat buku komik dan tas penuh makanan ringan. Teman-temannya tak terbendung.

"Aku harus membagikan ini dengan anggota klub lainnya."

Setelah membaca buku komik di sela-sela kelas, ia berbicara dengan Sun Hwa tentang hal itu. Dia harus menghabiskan lebih banyak waktu secara signifikan mendengarkannya, tetapi bagaimanapun, itu adalah waktu yang menyenangkan.

"Saya pulang."

"Hei, aku sebenarnya sedang keluar, jadi kamu harus makan malam sendiri. Jangan lupakan buahnya! "

"BAIK. Berhati-hatilah."

Ketika dia sampai di rumah, Juho mengganti seragam sekolahnya dan duduk di depan mejanya dengan secangkir air. Ada tumpukan kertas yang tidak rapi di samping.

Dia agak takut meraih mereka. ‘Ini akan sulit dibaca. Ini akan menjadi semua tempat. ’Sebuah komposisi yang ditulis di tengah-tengah pengalaman emosional yang intens biasanya sulit dibaca nanti.

Tetap saja, dia harus memilih. Dia harus memilih potongan-potongan untuk merajutnya menjadi sebuah cerita. Dia harus meraih sebongkah tanah liat yang hampir tidak berbentuk. Dia harus memotong dan tersandung untuk membuat sesuatu darinya, apakah itu orang atau binatang.

Dia bersandar di sandaran dan perlahan mengendurkan tubuhnya, mencoba memutar ulang kejadian di kepalanya.

‘Ada seorang ibu dan anaknya. Putri? Putra? Saya belum tahu. 'Boneka tanpa fitur wajah apa pun muncul di benak saya. Itu memakai tag nama yang bertuliskan 'ibu.' Juho mendekatinya.

‘Sang ibu kehilangan pegangannya pada kereta dorong. Kereta dorong bergegas menuruni bukit yang curam. 'Ketika dia melihat itu, dia menjadi ingin tahu tentang ekspresi di wajahnya, jadi dia berbalik dan menatapnya.

Wanita itu tanpa mata, hidung atau mulut melihat sekeliling ketika dia mengenalinya menatapnya.

Dia mencoba berbicara dengannya.

"Apakah kamu tidak akan pergi setelah kereta dorong?"

Boneka itu tidak merespons.

"Bayimu ada di sana."

Dia masih tidak menanggapi. Hanya saja, perutnya agak kembung. Dia bernapas.

"Anakmu dalam bahaya."

Kain pada bonekanya menggembung. Udara berusaha melarikan diri.

"Bayimu mungkin mati."

"Ah."

Boneka itu tiba-tiba memiliki mulut tetapi masih tanpa mata atau hidung. Bibirnya yang kering bergerak dengan lidah merahnya, “Ah. Ah."

"Lihat, kereta dorongnya jatuh."

"Ah."

"Bisakah kamu mendengar ratapan?"

Mulut yang terbuka sekarang membelah. "Ee. Ee. ”Angin bertiup melalui celah. "Ah. Ee, ”hanya itu yang dia katakan sejauh ini.

"Bisakah kamu mengucapkannya supaya aku bisa mendengarmu lebih baik?"

"Ah. Ee. "

"Bicaralah lebih keras. Gerakkan mulut Anda lebih banyak. "

"Ee. Ee. Ee. "

"Dia terdengar seperti pemutar kaset yang rusak," gumamnya frustrasi.

Meskipun mulutnya adalah satu-satunya fitur di wajahnya, dia masih tidak bisa mengatakan apa-apa. Juho menjadi tidak sabar dan cemas melihat pemandangan yang menakutkan itu. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. Dia tidak bisa terlalu memikirkan hal-hal.

"Aku akan menunggu di sini, jadi beri tahu aku."

"Ah. Eu. Ee, ”erangnya dengan bibirnya yang panjang dan tipis.

Dia dengan hati-hati mengamati wajahnya. Tidak mudah untuk mencari ekspresi di wajah tanpa mata atau hidung. Tetap saja, dia terus menatapnya.

"Bagaimana perasaanmu?"

Bentuk mulutnya tidak berubah, "Ee. Ee. "

"Bagaimana perasaanmu ketika kamu menemukanku?"

Bibirnya semakin tipis.

"Aku bisa terlalu lambat."

Mereka terus bertambah kurus.

"Kamu bilang kamu muak dengan sesuatu."

Perutnya membuncit. Itu menonjol lebih dari payudaranya.

"Hee."

Perutnya yang kembung merosot ke tempatnya, dan dia merasakan napasnya di pipinya. Dia melihat giginya di antara bibirnya yang digulung. Dia melihat lidahnya. Semuanya merah.

"Kamu sudah tersenyum."

Juho tersenyum dengannya.

Perlahan, dia berjalan menjauh darinya. Dia ingin mendengar lebih banyak, tetapi dia harus berhenti untuk hari itu.

'Keran.'

Benda kecil seperti hujan es jatuh dari langit. Semacam puing-puing. Kemudian, hujan mulai turun seperti hujan, tetapi apa yang jatuh pecah seperti itu telah hancur.

"Aku akan kembali lain kali," dengan kata-kata itu, dia membuka matanya. Dia tidak bisa mengingat berapa lama dia menutup matanya. Saat dia duduk di sana dengan kelelahan, Juho merasakan sesuatu yang basah di kakinya.

"Ah."

Gelas air jatuh di lantai. Untungnya, tidak ada halaman yang basah. Untunglah dia menyimpan gelas itu di atas meja, sehingga dia bisa "membersihkan" kamarnya. "Yah, kurasa orang dewasa ingin kita anak-anak mendengarkan mereka karena suatu alasan," pikirnya.

Ibu.

Ada banyak ibu di dunia itu. Seorang wanita yang menyelamatkan kehidupan, dan kemudian kehidupan yang pasti memudar.

Setelah menatap langit-langit selama beberapa waktu, Juho meraih pulpennya.

Pada akhirnya, dia tidak membersihkan air sampai mendekati fajar.

–

"Baiklah, mata di papan tulis."

Kelas matematika.

Saat dia menggaruk matanya, dia mengeluarkan notepad kecil dari sakunya. Juho telah membeli satu setelah kejadian di lereng bukit, dan itu cukup kecil untuk dibawa-bawa.

Dia telah mencoba menulis ceritanya dalam notepad. Melihat potongan-potongan cerita yang berserakan, ia berpikir, "Itu tidak cukup."

Itu tidak memiliki banyak hal, seperti wanita tanpa wajah.

Bertemu karakter selalu melelahkan. Setiap kali Juho memulai percakapan, mereka menjawab dengan jujur. Tentu saja, wanita itu baru saja mulai berbicara, tetapi dia tidak mampu mengucapkan kata-kata atau kalimat.

Itu adalah bukti bahwa karakternya belum sepenuhnya terbentuk.

"Aku yakin dia akan terlihat lebih seperti orang lain kali aku melihatnya."

Sekali lagi, dia mengatur apa yang dia tulis di buku catatannya.

Ada lubang plot di seluruh. Apakah itu orang atau peristiwa, dia membutuhkan bahan baku untuk mengisi lubang-lubang itu. Juho mencoba membayangkan jalan protagonis yang akan datang dan melihat sekeliling untuk melihat apa yang bisa dia temukan, tetapi kabutnya terlalu tebal. Dia tidak bisa melihat apa pun.

Namun, ada satu hal yang dia inginkan. Dia menginginkan sesuatu yang akan kontras dengan nada keseluruhan yang gelap dari cerita itu. Dia mencari sesuatu yang menonjol sekilas, namun tetap konsisten dengan yang lain di dalam.

Masalahnya adalah dia tidak tahu di mana dia bisa menemukan hal seperti itu. Dia mencoba mencari melalui pikirannya. Ada gambar-gambar yang lewat, tetapi tidak ada yang muncul.

Dia membutuhkan sesuatu yang terselubung dan agak rahasia. Thoughts Pikiran batin, kelemahan, keraguan. Apa yang mengelilingi kata-kata ini? "

"Jadi, jika kamu mengganti bagian ini dengan 1 …"

Dia terlalu mengantuk. Juho mencoba menggelengkan kepalanya sekuat yang dia bisa, tetapi dia tidak bisa menahan kelopak matanya yang berat.

Mengingat dia terjaga hampir sepanjang malam, betapa mengantuknya dia masuk akal. Memiliki dua pekerjaan itu tidak mudah.

"Karena itu, kita dapat menyimpulkan solusinya melalui proses ini."

"Menguap," Juho menguap sekali lagi. Dia mencoba untuk tetap terjaga saat dia menyeka air mata yang keluar dari matanya, tetapi tidak ada gunanya. ‘Aku harus menutup mata. Saya yakin Seo Kwang akan membangunkan saya. Maaf, saya … "

Suara guru matematika perlahan memudar. Kepalanya jatuh semakin rendah, dan dia tidak berjuang untuk tetap terjaga kali ini.

Setelah tidur sepanjang pelajaran siangnya, dia hampir tidak bangun dan berjalan ke ruang sains. Dengan Seo Kwang mengomelinya untuk bangun, dia membuka pintu. Sun Hwa dan Bom sudah ada di sana.

"Hei," sapa mereka seperti biasa.

Tidak ada yang berbeda kecuali dingin di udara. Setelah menatap keduanya untuk beberapa waktu, Juho membuka mulutnya, "Aku bertanya untuk berjaga-jaga."

"Apa?"

"Apakah kalian bertengkar?"

Ada tanggapan mendalam dari Sun Hwa dan Bom, tetapi baru setelah beberapa detik kemudian mereka menyangkalnya.

"Ya, benar," gumam Seo Kwang.

"Nggak."

Juho tahu jawaban mereka tidak sepenuhnya tulus.

Dia sangat terkejut mengetahui bahwa mereka telah bertarung. Ada celah untuk persahabatan mereka yang sudah rapuh. Meskipun mereka berpura-pura baik-baik saja, suatu hubungan yang condong ke satu arah rentan hancur.

Keduanya tidak berhubungan baik. "Apakah itu hal yang baik atau buruk?" Dia merasakan gatal di ujung jarinya dan memutuskan untuk belajar lebih banyak tentang apa yang terjadi.

Tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, pada saat itu, pintu terbuka. Itu Baron. Meskipun mereka saling menyapa seperti biasa, dia harus memperhatikan kedinginan di udara juga karena dia juga memandang kedua gadis itu dan bertanya, "Apakah kalian berdua berkelahi?"

"Tidak," jawab Sun Hwa. Namun, tidak ada yang percaya padanya. Ketegangan tampak jelas bahkan sekilas. Mereka biasanya berbicara dan tertawa bersama, tetapi kali ini, tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun.

"Saya pikir Anda tidak jujur."

"Kami tidak bertarung," jawab Bom, tetapi ekspresinya mengatakan sebaliknya. Jelas sesuatu telah terjadi.

Kemudian, Mr. Moon masuk, dan dia juga menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang lain, "Apakah kalian berdua berkelahi?"

"Tidak," jawab Bom lagi.

Mr. Moon memandangi kedua gadis itu secara singkat dan menambahkan, "Jika Anda tertarik melamar kontes esai, datang temui saya di ruang guru. Juho dan Baron, jika ada kontes lain yang ingin Anda ikuti, datang menemui saya. "

"Ya, Tuan Moon."

Bahkan ketika anggota klub yang lain menjawab, Juho tidak bisa membuka mulut. Seo Kwang mulai menyodok sisinya, ingin penjelasan, tetapi Juho tidak yakin harus mengatakan apa padanya.